OKA RUSMINI DAN “PEREMPUAN” DALAM KARYANYA.
…..Apakah hidup akan menyisakan sepotong kecil,
seukuran kuku kelingking, sedikit saja, keinginanku yang bisa kutanam dan
kusimpan sendiri? Hyang Widhi, apakah sebagai perempuan aku terlalu loba,
tamak, sehingga Kau pun tak mengizinkan memiliki impian? Apakah Kau laki-laki?
Sehingga tak pernah Kaupahami keinginan dan bahasa perempuan sepertiku?.....
Dengan penanya ia goreskan kata. Dalam kata-kata
berteriaklah ia akan kegelisahan, pengorbanan, derita, cinta, dan kasih sayang dari
makhluk Tuhan yang bernama “Perempuan”. Dengan tulisannya ia berbicara bahwa
tak selamanya perempuan harus hidup terkotak-kotak dengan belenggu gender.
Jika ada perempuan pengarang Indonesia yang begitu
gigih ‘mendobrak’ kekakuan tradisi kasta dan adat Bali dalam karya-karyanya,
maka dialah Oka Rusmini. Wanita kelahiran Jakarta 11 Juli 1967 ini menyuarakan
masalah-masalah perempuan melalui tulisan-tulisannya yang begitu menggugah.
Banyak karyanya yang membicarakan tentang perempuan dan selalu dikaitkannya
dengan budaya patriarki di dalam adat. Menurut Oka dalam salah satu karyanya,
persoalan perempuan di Bali (dan di manapun) adalah persoalan kultur dan agama;
dan perempuan itu sendirilah yang paling mengerti dirinya. Oleh karena itu,
perempuan pulalah yang mesti menuliskannya. Ketimpangan atau pengkotak-kotakan
peran dan fungsi laki-laki dan perempuan juga terlihat dalam karya-karya
sastranya. Tidak banyak karya sastra yang berani melawan atau menampilkan
cerita berbeda dengan mengungkap masalah gender dari sudut perempuan. Tapi
tidak begitu dengan Oka Rusmini.
Saat ini Oka tinggal di Denpasar, Bali. Ia
menulis puisi, cerita pendek, novel, drama dan cerita anak. Antologi yang
memuat karyanya, antara lain, Doa Bali Tercinta (1983), Rindu Anak Mendulang Kasih
(1987), Bali Behind The Seen (Australia, 1996), Utan Kayu: Tafsir dalam
Permainan (1998), Menagerie 4 (2000), Bali: The Morning After (Australia,
2000), Bali Living in Two Worlds (Basel, 2000). Karya-karyanya banyak
memperoleh penghargaan. Cerita pendeknya, “Putu Menolong Tuhan”, terpilih
sebagai cerpen terbaik Majalah Femina 1994. Noveletnya, Sagra, memenangi
cerita bersambung terbaik Majalah Femina 1998. Cerita pendeknya, “Pemahat
Abad”, terpilih sebagai cerpen terbaik 1990-2000 majalah sastra Horison.
Pada tahun 2002 menerima penghargaan puisi terbaik Jurnal Puisi. Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Indonesia memilihnya sebagai “Penerima
Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003” atas novelnya, Tarian Bumi.
Ia juga sering diundang dalam berbagai forum sastra
nasional dan internasional. Di antaranya mengikuti “Mimbar Penyair Abad
21” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (1996); mewakili Indonesia dalam writing
program penulis ASEAN (1997); tampil dalam Festival Puisi Internasional di
Surakarta (2002), Festival Puisi Internasional di Denpasar, Bali (2003) serta
Festival Sastra Winternachten di Den Haag dan Amsterdam, Belanda, sekaligus
hadir sebagai penulis tamu di Universitas Hamburg, Jerman 92003). Buku
puisi, novel dan kumpulan cerita pendeknya yang telah terbit: Monolog
Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003) dan Patiwangi
(2003).
Karya Oka yang banyak tentang perempuan mungkin salah
satu bukti kepeduliannya terhadap perempuan-perempuan Indonesia khususnya.
Dalam perjuangannya menyiratkan sosok perempuan dalam setiap tulisannya patut
kita beri acungan jempol meskipun banyak menimbulkan kontroversi dari sebagian
kalangan. Namun keberanian dan semangatnya tetap tak menyurutkan niatnya untuk
tetap berkarya.
Tulisan Oka Rusmini mampu memberi inspirasi bagi para
pembaca baik perempuan maupun laki-laki. Mengutip dari salah satu karyanya yang
berjudul Tarian Bumi Oka
mengispirasi perempuan untuk tidak terpaku dan terjerat oleh system dan
keterpaksaan yang kelak akan merugikan perempuan.
“
Kelak kalau kau jatuh cinta dengan seorang laki-laki kau harus mengumpulkan
pertanyaan-pertanyaan yang harus kau simpan…
Apa
untungnya laki-laki itu untukmu…
Jangan
pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sebuah system. Menikahlah
kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan cinta dan kasih..”
(Rusmini, 2004: 21).
Dengan karya-karyanya Oka bisa dikatakan sebagai “Kartini” pada era modern ini.
Dengan tulisan tangannya ia mampu menyuarakan hak-hak dan kewajiban perempuan
itu sebagaimana mestinya, bukan sebagai makhluk yang hanya terkotak-kotak dalam
system. Dimana system itu hanya mengekang perempuan dalam ketidakberdayaan.
Sudah saatnya perempuan bangkit dan menjalankan peran sebagimana mestinya.
…..“Permasalahan perempuan (di
manapun itu) adalah persoalan kultur dan agama ; dan perempuan itu sendirilah
yang paling mengerti dirinya. Oleh karena itu, perempuan pulalah yang mesti
menuliskannya.”…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar