Nasionalisme
adalah Tujuan Mulia
Oleh Indri
Prasetya wati
Semangat nasionalisme, bukan
terpatri karena wujud kepercayaan kita, bukan hanya terpojok oleh persamaan nasib dan alur kehidupan seorang manusia,
bahkan tak cukup dengan landasan tanah air. Nasionalisme adalah tujuan mulia.
Tujuan kita yang sama. Meningkatkan derajat Indonesia.
Berbicara mengenai nasinalisme berarti sedikit banyak
berbicara tentang pengapdian.. Nasionalisme tidak dapat jika hanya di hubungkan
dengan pahlawan, mengakui kewarganegaraannya atau sekedar mendukung timnas
Indonesia. Di era modernisasi dan globalisasi saat ini, jiwa nasionalisme para
pemuda bangsa sedikit demi sedikit mulai memudar. Banyak dari pemuda-pemudi
Indonesia yang lebih mencintai budaya bangsa lain daripada bangsanya sendiri.
Maka dari itu, kita tidak salah jika mengilhami karakter pahlawan untuk belajar
dan mencerna arti nasionalisme itu sendiri. Sehingga dapat kita aktualisasikan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tokoh Indonesia yang satu ini, adalah salah satu dari
sekian banyak orang-orang yang berhasil mengukir sejarah Indonesia. Beliau
adalah Agus Salim, seorang anak manusia yang dilahirkan di Kota Gadang,
Bukittinggi, tahun 1884. Anak keempat dari Sultan Moehammad Salim, seorang
jaksa di sebuah pengadilan negeri. Karena kedudukan ayahnya Agus Salim bisa
belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan lancar, selain karena dia anak yang
cerdas. Dalam usia muda, dia telah menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing;
Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman.
Dalam teori komunikasi, pola berpikir seseorang dipengaruhi
oleh latar belakang hidup di lingkungannya. Seorang tokoh yang berperan dalam
gerakan moderen Islam di Indonesia, Agus Salim, memiliki pola berpikir yang
dipengaruhi oleh lingkungannya dalam hal sosial-intelektual. Dia adalah anak
dari pejabat pemerintah yang juga berasal dari kalangan bangsawan dan agama.
Jadi, sejak kecil ia hidup di lingkungan yang penuh dengan nuansa-nuansa
keagamaan. Setelah menyelesaikan studi sekolah pertengahannya di Jakarta, dia bekerja
untuk konsulat Belanda di Jeddah (1906-1909).
Karir politik Agus Salim berawal di SI, bergabung dengan
HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada 1915. Ketika kedua tokoh itu mengundurkan
diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan mereka terhadap
pemerintah Belanda, Agus Salim menggantikan mereka selama empat tahun
(1921-1924) di lembaga itu. Tapi, sebagaimana pendahulunya, dia merasa
perjuangan “dari dalam” tak membawa manfaat. Dia keluar dari Volksraad dan
berkonsentrasi di SI.
Karier politiknya sebenarnya tidak begitu mulus. Dia pernah
dicurigai rekan-rekannya sebagai mata-mata karena pernah bekerja pada
pemerintah. Apalagi, dia tak pernah ditangkap dan dipenjara seperti
Tjokroaminoto. Tapi, beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang menyinggung
pemerintah mematahkan tuduhan-tuduhan itu. Bahkan dia berhasil menggantikan
posisi Tjokroaminoto sebagai ketua setelah pendiri SI itu meninggal dunia pada
1934. Selain menjadi tokoh SI, Agus Salim juga merupakan salah satu pendiri
Jong Islamieten Bond. Di sini dia membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin
keagamaan yang kaku.
Agus Salim memang memiliki sumbangan yang tidak kecil dalam
pembangunan bangsa baru bernama Indonesia.
Bukan hanya sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), ia
bahkan termasuk dalam tim kecil perumus Pembukaan UUD RI. Mungkin karena
keahliannya dalam tata bahasa Melayu, ia bersama Djajadiningrat dan Soepomo,
menjadi penghalus bahasa dalam penyusunan batang tubuh UUD 1945. Kiprah
perjuangan “the grand old man” –julukan Soekarno terhadap Agus Salim– tidak
hanya sebatas pendirian Indonesia.
Pada beberapa kabinet, Agus Salim selalu menduduki peran sebagai menteri luar
negeri. Kepiawaiannya berdiplomasi membuat dia dipercaya sebagai Menteri Muda
Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri
dalam Kabinet Hatta. Sesudah pengakuan kedaulatan Agus Salim ditunjuk sebagai
penasehat Menteri Luar Negeri.
Agus Salim adalah tokoh yang sangat disiplin dalam mendidik
dirinya dan keluarga. Mendidik mereka dalam kesederhanaan. Beliau adalah
manusia komplet, ia adalah penerjemah, wartawan, diplomat, dan ulama. Bahkan
juga sastrawan. Julukan The Grand Old Man, adalah sebagai bentuk pengakuan atas prestasinya di
bidang diplomasi.
Sahabat dan keluarga mengenal Agus Salim sebagai manusia
merdeka. Merdeka dalam berhadapan dengan penjajah, merdeka dalam urusan
keluarga, masyarakat dan bangsanya. Merdeka dalam bersuara. Dan merdeka dalam
bidang pendidikan. Sebagai pribadi yang dikenal berjiwa bebas. Dia tak pernah
mau dikekang oleh batasan-batasan, bahkan dia berani mendobrak tradisi Minang
yang kuat. Tegas sebagai politisi, tapi sederhana dalam sikap dan keseharian.
Meski pemikiran Agus Salim bernafaskan islam, namun beliau
ingin menempatkan nasionalisme pada porsinya. Artinya memang nasionalisme
diperuntukkan meningkatkan rasa cinta tanah air, namun juga perlu
diorientasikan untuk kepentingan-kepentingan perjuangan bangsa Indonesia dalam
menuju kemerdekaan dan pembentukan Negara yang adil dan makmur. Perjuangan
seperti itu tentunya salah satu bentuk pengabdian dan beribadah kepada Tuhan
yang Maha Esa. Dengan begitu antara nasionalisme dan keagaamaan dapat
disintesiskan menjadi nasionalisme yang sejati dengan nilai-nilai Ketuhanan.
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa Agus Salim adalah
seorang yang anti-nasionalisme. Perjuangannya dalam mempersiapkan kemerdekaan
bangsa kita adalah bukti bahwa dia adalah seorang yang berjiwa nasionalisme.
Perjuangan Agus salim dalam meraih kemakmuran bagi rakyat Indonesia patut
kita apresiasi bersama sebagai rasa syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya, kenikmatan hidup saat ini yang kita rasakan di Indonesia tak lain
dan tak bukan adalah hasil jerih payah dari para pejuang kemerdekan dan
alangkah lebih baik apabila perjuangan mereka di masa lalu dapat kita hayati
untuk merevitalisasi semangat dalam diri menggali secara konsisten
khazanah-khazanah keislaman, kemoderenan, dan keindonesiaan.
Kita baru betul-betul merdeka, kalau sudah berhasil
menciptakan masyarakat Indonesia
yang merdeka. Merdeka dari kemiskinan, kebodohan, dan kebobrokan hati nurani
mereka.
komen saya fontnya times new roman saja, supaya yang membaca tidak mumet
BalasHapussiap... komentar saya tampung saudara.
BalasHapus