Masa Keemasan Sultan Agung dalam memerintahan Kerajaan
Mataram (1613-1645)
Oleh: Eko Ashari
Sejarah
panjang Mataram mencatat Sultan Agung (1613-1646) sebagai
Raja yang paling berpengaruh dimasa itu.
Pada masa puncak kejayaan kerajaan Mataram dapat terlihat dalam bidang politik,
terbukti dari luas wilayah dan besarnya kekuasaan raja menurut konsep kekuasaan
Jawa atau yang disebut doktrin keagungbinataran, kemampuan mempertahankan
kemerdekaan dan hubungan dengan berbagai kerajaan di luar Jawa, dan dalam
kebudayaan dengan kemampuannya mengembangkan perpaduan antara kebudayaan Jawa
dan kebudayaan dari luar seperti tercermin dalam pengembangan tarih Jawa,
penulisan babad, pembangunan makam diatas bukit dalam bahasa Jawa Krama-ngoko[1].
Babad
menceritakan bahwa Susuhunan Anyakrawati (Panembahan Krapyak) menggadang
(mempersiapkan) calon penggantinya. Calon yang disiapkan adalah Raden Mas
Wuryah atau Martapura. Tetapi bukan pangeran Martapura yang naik tahta melaikan
Raden Mas Jetmika atau Raden Mas Rangsang. Karena Panembahan Krapyak sudah
menjatuhkan Kaulnya kepada Raden Mas Wuryah atau Martapura, Martapura tetap
diangkat menjadi raja, tetapi hanya sebentar, selanjutnya diserahkan lagi
kepada Raden Jetmika. Dalam babad diceritakan bahwa Panembahan Krapyak mendapat
wangsit bahwa Raden Jatmikalah yang nantinya menjadi raja besar membawa kejayaan Mataram. Pada saat Panembahan
meninggal, Raden Wuryah baru berusia 8 tahun dan Raden Jetmika berusia 20
tahun. Sehingga Raden Jetmika yang naik tahta karena dianggap sudah dewasa dan
pantas untuk naik tahta[2].
Sultan
Agung sebagai raja Jawa memiliki wawasan politik yang luas dan jauh kedepan,
melibihi siapa pun juga yang hidup pada masanya. Sultan Agung berusaha mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan
Mataram. Sejarah mencatat wilayah Mataram pada zaman Sultan Agung meliputi
seluruh wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat sampai dengan Karawang, Jawa Timur
sampai daerah Jember dan Madura. Sedangkan usahanya untuk mempersatukan Blambangan (Banyuwangi) dan
Banten belum terpenuhi.
Perluasan
kekuasaan yang dianggap sangat berhasil dimana Sultan Agung berhasil
menahklukkan Surabaya. Bahkan Surabaya menjadi musuh yang sangat kuat untuk
ditahklukkan oleh Mataram, yang menjadi musuh turun-temurun. Tahun 1614,
Surabaya sempat menyerang Mataram yang dibantu oleh Kediri, Tuban, dan
Pasuruan. Kemudian ditahun-tahun berikutnya pasukan gabungan itu berhasil
dikalahkan oleh pasukan Mataram di Wirasaba (Mojokerto). Kemenangan pasukan
Mataram atas gabungan dari pasukan Surabaya dan lainnya juga berdampak pada bubarnya persekutuan antara daerah-daerah tersebut.
Kemudian menyusul jatuhnya daerah-daerah tersebut. Sesudah Wirasaba, segera
jatuh Lasem, Pasuruan ditahun 1617 dan akhirnya Tuban juga ditahun 1620.
Akibatnya kekuasan Mataram bertambah luas dan basis kekuatan Mataram juga
bertambah kuat.
Kemudian
pada tahun 1622 Sultan Agung memberanikan untuk menyeberangi laut Jawa, untuk
menundukan Sukadana yang menjadi sekutu Surabaya. Tahun 1624 serangan Mataram
ditujukan kepada Surabaya. Serangan yang langsung ditujukan dipertahanan Pamekasan dan Sumenep segera tidak berdaya,
akhirnya daerah Madura Jatuh ketangan Mataram yang notabene adalah kawan dari
Surabaya. Adipati Sampang diangkat oleh Sultan Agung menjadi Adipati Madura
dengan gelar Pangeran Cakraningrat I. Madura dianggap sangat penting kedudukannya
oleh Mataram karena Madura adalah kekuatan yang bisa diandalkan untuk menyerang
Surabaya sebagai kekuatan pembantu untuk menahklukkan Surabaya.
Tibalah
untuk menggempur Surabaya, yang sudah terpencil dan mengalami berbagai
kesulitan karena blokade Mataram. Karena Surabaya mendapatkan bantuan dari
Batavia, maka Sultan Agung minta pula
bantuan dari Batavia, tetapi Belanda menolak. Pada akhirnya Surabaya harus
mengakui kekuasaan atas Mataram pada tahun 1625[3].
Dengan jatuhnya Surabaya maka seluruh
Jawa Tengah dan Jawa Timur kecuali (Blambangan) dapat bersatu dibawah kekuasaan
Mataram. Persatuan ini kemudian diperkuat lagi oleh Sultan Agung dengan cara
mengikat para Adipatinya menggunakan tali perkawinan dengan Puteri-puteri Mataram. Ia sendiri
kawin dengan puteri Cirebon, sehingga daerah inipun mengakui kekuasaan Mataram.
Dalam
usahanya dalam melaksanakan cita-citanya mempersatukan seluruh wilayah Jawa,
maka Sultan Agung sebagai raja yang melanjutkan kejayaan dimasa Demak mengaku
berhak atas daerah Demak. Ternyata Banten tidak bersedia mengakui Mataram
sebagai penguasa wilayah Jawa khususnya daerah Banten. Maka Banten harus ditundukkan
juga. Akan tetapi anatara Mataram dan Banten ada Batavia, tempat bercokolnya VOC
yaitu Bandar dagang milik Belanda,
sedangkan Sultan Agung sudah tahu bahwa Batavia tidak suka melihat Mataram
terlalu berkuasa. Maka terlebih dahulu Batavia yang harus
ditahklukan sebelum ke Banten.
Tahun
1628 Sultan Agung melancarkan serangan pertama ke Batavia. Usahanya merobohkan
benteng VOC
ini gagal, terutama disebabkan tentara Mataram kekurangan bahan makanan. Para
Prajurit Mataram kekurangan dalam hal perbekalan makanan, sehingga banyak
pasukan mataram yang mati dan kelaparan, mengakibatkan serangan yang
dilancarkan oleh pasukan Mataram kurang membuat VOC tergoyahkan sehingga pasukan Mataram dipukul mundur dan
terpaksa kembali ke Mataram. J.P Coen yang pada masa itu menjadi Gubernur
Jenderal VOC kagum akan kekuatan Mataram, segera memperkuat lagi Batavia guna
menghadapi kemungkinan serangan yang dilancarkan lagi oleh Mataram. Kemudian
dengan menghapuskan blokade terhadap Banten yang sudah berlangsung
selama 10 tahun. Dengan membuka kembali hubungan dengan Banten, berharap Banten bukan lagi sebagai musuh, melainkan ikut bergabung
melawan Mataram karena secara tidak langsung usaha yang dilancarkan Mataram
juga untuk menguasai wilayah Banten.
Karena
serangan pertama gagal, Sultan Agung tidak lantas putus asa.
Kesalahan-kesalahan serangan pertama terhadap Batavia diperbaiki. Maka sebagai
persiapan untuk serangan yang kedua, diperintahkan untuk membangun
gudang-gudang penyimpanan makan disetiap daerah-daerah jalan menuju Batavia dan
membangun hubungan baik dengan daerah kekuasan Mataram disepanjang jalan itu.
Pembangunan gudang tersebut didaerah Cirebon dan Karawang, sedangakan
perahu-perahu penuh dengan beras menjelajah perairan sekitar Batavia. Barulah
ia lancarkan serangannya yang kedua pada tahuin 1629[4].
Untuk
yang kedua kalinya usaha yang dilakukan oleh Sultan Agung juga gagal. Serangan
yang diperkirakan akan berhasil, tetap saja dapat dipatahkan oleh pihak VOC.
Perahu-perahu yang mengangkut bahan makanan tidak dapat menghadapi perlawan
kapal-kapal perang VOC, sedangkan persediaan makanan yang sekiranya sudah
dipersiapkan di daerah-daerah strategis juga dibakar musuh. Hal ini disebabkan
karena adanya pihak yang sengaja membocorkan gudang-gudang persediaan makanan
prajurit Mataram. Alhasil prajurit-prajurit Mataram yang sedang bertempur di
Batavia kelaparan bahkan terjangkit berbagai penyakit. Akhirnya Sultan Agung
memutuskan mundur dari pertempuran dan kembali ke Mataram.
Sebenarnya
kekuatan VOC tidak seberapa dibanding dengan prajurit Mataram, tetapi karena
kelicikan dan taktik VOC yang sangat jitu, serangan yang dilancarkan oleh
Mataram yaitu pada tahun 1628 dan 1629
dapat dipatahkan oleh pihak VOC. Namun Sultan Agung tidak lantas menyerah
begitu saja. Sultan Agung kemudian fokus terhadap daerah yang dianggap penting,
lebih memperkuat pertahan Mataram. Karena perlawanan Mataram dibawah pimpinan
Sultan Agung tidak berhenti seketika itu. Daerah seperti Karawang yang mulanya
semak dan hutan belukar lebat kemudian dibuka untuk lahan pertanian, dari
situlah nantinya akan mempermudah hubungan keluar Mataram. Disamping itu Sultan
Agung melakukan hubungan dengan orang-orang Portugis di Malaka dan orang
Inggris di Banten. Pengiriman bahan makan ke Batavia Ia blokir, dan mengarahkan
perdagangan ke Malaka. Hal itu sebagai
strategi untuk mengurung Batavia agar sulit untuk melakukan gerak-gerik dan
nantinya dapat dikuasai oleh Mataram.
Sultan
Agung dikenal adalah sosok raja Mataram yang sangat ahli dalam strategi
pertempuran. Bahkan beliau tidak segan langsung memimpin pertempuran dan turun
ke medan langsung untuk memimpin digaris terdepan. Sifatnya yang sangat
bijaksana, berkharisma, dan memberikan suri tauladan menjadikan raja Mataram
ini sangat disegani oleh kerajaan-kerajan lainnya. Sultan Agung juga tidak
lepas dari sosok pahlawan bagi rakyatnya juga bagi negaranya. Walaupun pada
masa itu berkecambuk perang dan penahklukan-penahklukan daerah yang nantinya
akan menjadi daerah bawahan Mataram, Sultan Agung juga sempat mengadakan
perlawanan kepada pihak VOC. Bahwa Sultan bertujuan mempersatukan wilayah Jawa
dibawah kekuasaan Mataram. Sultan Aguing sebagai pewaris sah tahta Mataram
tidak mau tanah leluhur sekaligus kelahirannya dicampuri urusan
pemerintahannya.
VOC
yang kedudukannya semakin kuat di Jawa dan kemudian berhasil menahklukkan
Malaka. Kondisi ini mempersulit Mataram yang pada awalnya menjalin hubungan
dengan Portugis di Malaka, tetapi berhasil direbut oleh VOC. Tahun 1641 Malaka
resmi jatuh dari tangan Portugis ke VOC. Sultan Agung kemudian mempersiapkan
untuk mengusir pihak VOC dari tanah Jawa khususnya Nusantara pada waktu itu.
Cita-cita yang semula ingin mempersatukan wilayah jawa dibawah satu kekuasaan
Mataram kemudian beralih ke pengusiran penjajah disini pihak Belanda khususnya
VOC dari nusantara. Tapi kehendak berkata lain, pada tahun 1645[5]
pada usia 55 tahun Sultan Agung mangkat dan pekerjaannya belum selesai. Padahal
persiapan yang sudah disusun dan direncanakan cukup panjang, tetapi Sultan
Agung wafat terlebih dahulu. Pengganti Sultan Agung tidak bisa meneruskan
perjuangan Sultan Agung. Penerus tersebut adalah puteranya sendiri yaitu
Amngkurat I. Beliau tidak mempunyai kecakapan seperti ayahnya. Bahkan pada masa
Amangkurat I Mataram berada dibawah bayang-bayang VOC. Kondisi perpolitikan
Matarm sudah dikendalikan oleh VOC, ini menjadi masa-masa sulit kerajaan
Matarm, karena figur pemimpin seperti Sultan Agung tidak biasa ditemukan lagi. Sosok
Sultan Agung yang sangat kharismatik tidak ada duanya. Mataarm sendiri mencapai
kejayaan pada masa Sultan Agung yang dianggap raja paling sukses di Mataram.
Rakyat beserta keluarga besar Kerajaan Mataram merasa sangat kehilangan raja
yang sangatlah berjasa bagi kemajuan kerajaan Mataram dan sanagat menjunjung
tinggi nilai-nilai budaya Jawa.
Jasa
Sultan agung tidak berhenti disitu saja, dalam hal politik memang beliau
diacungi jempol sangat hebat dan terbukti dari wilayah Mataram yang hampir meliputi
se-Jawa. Tetapi disamping itu beliau juga mempunyai wawasan budaya yang sagat
kuat.Wawasan kebudayaan yang dimiliki Sultan Agung tidak terlepas dari nilai budaya
Jawa, yang selalu mau menerima masuknya unsur dari luar untuk memperkaya budaya
yang sudah dimiliki. Pada masa Sultan Agung nilai-nilai budaya Jawa yang
dipadukan dengan Islam kemudian munculnya penanggalan Jawa. .Salah satu hasil
karyanya yaitu saat Sultan Agung mengembangkan kalender Jawa yang
dipadupadankan dengan tarihk Hijriyah dan Saka. Beliau memperkenalkan tarihk
Jawa pada tahun 1633. Sultan Agung juga melakukan perayaan sekaten saat masuk
bulan Mulud saat memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW yaitu hari kelahiran
nabi Muhammad SAW.
Budaya-budaya
yang kental dengan nilai-nilai Jawa ini menjadikan Sultan Agung mempunyai
perhatian juga terhadap budaya yang telah membesarkan dirinya. Jadi beliau
tidak rela ketika pihak Belanda ingin merusak dan menguasai itu. Karena
didalamnya ada unsur kesakralan dalam setiap prosesi-prosesi ritual yang
dilakukan oleh Mataram pada khususnya.Peranan Sultan Agung tidak lantas
berhenti disitu saja, Sultan Agung juga berperan penting dalam perkembangan
sastra dan bahasa Jawa.Salah satunya serat
gending yang langsung dikarang oleh Sultan agung dan beliau sebagai pecipta
unggah-ungguhe basa yang kemudian disebut sebagai ngoko-krama. Inilah yang
menjadikan tatanan bahasa pada waktu itu menjadi pembeda dalam status sosial.
Unggah-ungguh basa digunakan untuk melakukan percakapan dengan orang sebaya,
lebih muda dan juga lebih tua. Perkembangannya sangatlah pesat dan ini juga
digunakan dalam lingkungan kraton.
Daftar
Pustaka
G. Moedjanto, Konsep
Kekuasaan JAwa penerapan oleh raja-raja Mataram, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Purwadi, The
history of Javanese King “Sejarah Raja-raja jawa”, Yogyakarta: Ragam Media,
2010.
Soekmono, Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia 3, Yogyakarta: Kanisius. 1973.
[1]Diambil
dari tulisan Dr. Purwadi, M.Hum dalam
tulisannya yang berjudul “STRATEGI KEBUDAYAAN PADA MASAPEMERINTAHAN SULTAN
AGUNG”.
[2] G.
Moedjanto, konsep kekuasaan Jawa
penerapan oleh raja-raja Mataram, (Yogyakarta: Kanisius, 1987) hal 158.
[3]Soekmono,
Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 3,
(Yogyakarta: Kanisius, 1973) hal. 61
[4] Ibid,.
[5]
Purwadi, The history of Javanese King
“Sejarah Raja-raja jawa”, (Yogyakarta: Ragam Media, 2010), Hal. 317.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar