PERGESERAN PERAN ANTARA
LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
DI ERA GLOBALISASI
Indri Prasetya Wati (10406241023)
Globalisasi, kata yang
tidak asing lagi di telinga kita. Pada saat ini globalisasi lakyaknya
seperti virus yang dengan cepat menyebar
dan mempengaruhi berbagai elemen kehidupan. Globalisasi juga mampu mengubah
tatanan sosial, norma, dan nilai dalam masyarakat yang sudah tersusun
sedemikian rupa mengalami pergeseran, pembenturan atau perubahan dengan
mendominasi nilai-nilai dari luar. Seiring dengan era globalisasi, isu
kesetaraan gender semakin menguat menyangkut peran antara laki-laki dan
perempuan dalam semua bidang kehidupan.
Pada mulanya perempuan dianggap tabu
jika terlibat dalam kegiatan politik maupun perekonomian, sebab pada dasarnya
peran perempuan hanya dalam lingkup rumah tangga. Menurut Vitayala, 1995
melalui Endang Lestari Hastuti
prospek dan pengembangan citra peran perempuan dalam abad XXI berbentuk menjadi
beberapa peran yaitu Peran tradisi, yang menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi.
Hidupnya 100 persen untuk keluarga. Pembagian kerja jelas perempuan di rumah,
laki-laki di luar rumah. Peran transisi, mempolakan peran tradisi lebih utama
dari yang lain. Pembagian tugas menuruti aspirasi gender, gender tetap eksis
mempertahankan keharmonisan dan urusan rumah tangga tetap tanggung jawab
perempuan.[1] Pandangan
seperti itu sudah berkembang dari dahulu dan baik laki-laki maupun perempuan
awalnya menerima saja “label” seperti itu. Sejalan dengan era globalisasi
peran-peran yang mengikat dan membatasi perempuan seperti itu pudar dan
tergeser, pekerjaan dimasyarakat yang selama ini didominasi oleh kaum adam
beralih fungsi menjadi pekerjaan perempuan (tidak semua jenis pekerjaan).
Dewasa ini seiring
dengan berkembangnya teknologi dan informasi tanggung jawab perempuan akan
pekerjan-pekerjaannya di rumah dapat teratasi. Segala perubahan dan
perkembangan dunia membawa dampak positif maupun negatif bagi kehidupan masyarakat,
khususnya bidang gender. Gender adalah perbedaan peran, fungsi, persifatan,
kedudukan, tanggung jawab dan hak perilaku, baik perempuan, maupun laki-laki
yang dibentuk, dibuat, dan disosialisasikan oleh norma, adat kebiasaan, dan
kepercayaan masyarakat setempat.
Dalam kaitan ini,
konsep gender berhubungan dengan peran dan tugas yang pantas/tidak pantas, baik
untuk laki-laki, maupun perempuan.[2]
Pada hakikatnya manusia butuh suatu
pengakuan tentang dirinya oleh orang lain dan lingkungan sekitarnya. Perempuan merupakan
manusia dan bagian dari masyarakat, sehingga mereka pun memiliki perasaan ingin
diakui keberadaannya ditengah-tengah laki-laki. Perempuan juga berhak untuk
maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, maka dari itu tidak
mengherankan jika pada saat ini banyak birokrasi-birokrasi pemerintahan,
perdagangan, dan pembangunan dipegang oleh perempuan.
Pandangan yang menyebutkan bahwa
perempuan harus tetap diam di rumah, menjadi sosok yang penurut dan manut,
semestinya segera diganti dengan pandangan bahwa perempuan harus sudah mulai
berorientasi ke global, luar rumah, dan menjadi perempuan bekerja yang mandiri.
Apalagi kalau kita melihat kenyataan bahwa saat ini justru banyak perempuan
yang menjadi penopang ekonomi keluarga, pencari nafkah yang utama. Banyak pula
perempuan yang menjadi ibu tunggal bagi anaknya sehingga kesadaran masyarakat
dan lingkungan kerja mutlak diperlukan untuk mendukung kenyataan ini.[3]
Dalam bidang ekonomi terlihat adanya
kecenderungan perempuan juga turut dalam mencari pekerjaan, baik itu karena
kebutuhan ekonomi keluarga maupun karena tuntutan zaman dan haknya sebagai
wanita. Maka dewasa ini banyak dunia kerja yang diduduki oleh perempuan, bahkan
tidak salah jika pendapatan perempuan lebih banyak dibandingkan dengan
laki-laki. Menurut Yenny Wahid peluang perempuan untuk berkiprah dan maju masih terbuka
lebar, mengingat banyak perempuan yang sudah mengenyam pendidikan tinggi.
Penyertaan perempuan dalam lembaga-lembaga tinggi
negara selalu meningkat dari tahun ke tahun. [4]
Tampilnya perempuan
yang dominan dalam bidang pendidikan, pemerintahan, perekonomian, bahkan
pembangunan merupakan proses tuntutan globalisasi, akan tetapi bukan sepenuhnya
dari sisi global namun juga adanya tuntutan akan kemampuan yang lebih baik,
tuntutan kebutuhan serta adanya kesempatan di lapangan. Dari adanya fenomena
ini menjelaskan bahwasanya antara laki-laki dan perempuan adalah sama,
sama-sama memiliki kemampuan, kesempatan, kedudukan, dan mempunyai fungsi serta
peran dalam masyarakat.
Permasalah
gender dalam lingkup pergeseran peran laki-laki dan perempuan sebenarnya bukan
satu-satunya masalah sosial yang bersinggungan langsung dengan dampak
globalisasi, sebab untuk dunia modern sekarang siapa saja dapat dengan mudah
mengakses segala macam informasi dari luar, mengenai pendidikan, pekerjaan,
bahkan politik pemerintahan, baik perempuan maupun laki-laki. Pada dasarnya
mereka tidak dibatasi dengan sistem seketat dulu sebelum modernisasi dan
globalisasi merebak di negara ini. Kebebasan itulah yang mengaburkan peran
mereka.
Pergeseran peran
ini sebaiknya tidak terlalu dianggap sebagai dampak negatif dari globalisasi. Sebab antara perempuan dan
laki-laki sebetulnya masih mempunyai posisi yang berbeda di hal-hal tertentu,
yang mana tidak bisa digantikan dengan siapapun. Laki-laki posisinya sebagai
suami dalam keluarga, perempuan posisinya sebagai istri yang tugasnya
mendampingi suami. Dibutuhkan adanya rasa saling pengertian antara perempuan
dan laki-laki agar tercipta hubungan yang selaras untuk menghadapi konflik-konflik
yang muncul akibat pergeseran gender tersebut. Saling menghargai, tidak
merendahkan satu sama lain, dan saling melengkapi, serta tetap pada kodratnya
sebagai laki-laki maupun perempuan merupakan sikap yang perlu ditumbuhkan untuk
membentengi diri dari pengaruh negatif globalisasi dalam konsep gender.
Disamping peran setiap individu masing-masing, peran masyarakat dalam
menumbuhkan kesadaran akan posisi masing-msing individu di lingkungannya juga
dibutuhkan, agar antara laki-laki dan perempuan menempatkan dirinya pada posisi
semestinya sesuai dengan peran dan kemampuan masing-masing.
Sumber:
Hastuti,
Endang Lestari. Thesis: Hambatan Sosial
Budaya Dalam Pengarusutamaan Gender Di Indonesia (Socio-Cultural Constraints on
Gender Mainstreaming in Indonesia). Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan
(KPP). ”Bunga Rampai: Panduan dan Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan
Gender dalam Pembangunan Nasional.” (Kerjasama Kementerian Pemberdayaan
Perempuan RI, BKKBN. dan UNFPA. 2004.
Edi Atmaja, A. P. 2012. Perempuan sebagai Kata Kerja. Harian
Analisa. Melalui http://www.analisanews.com/berita/030412/perempuan-sebagai-kata-kerja
diunduh pada tanggal 03 april 2012.
http://www.antaranews.com/berita/300609/perempuan-akan-dominasi-profesi-pakar-ti diunduh pada tanggal 3 april 2012.
[1] Endang Lestari Hastuti, Thesis: Hambatan
Sosial Budaya Dalam Pengarusutamaan Gender Di Indonesia (Socio-Cultural
Constraints on Gender Mainstreaming in Indonesia), Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
[2]
Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP), ”Bunga Rampai: Panduan dan Bahan
Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional,”
(Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, BKKBN, dan UNFPA, 2004.
Melalui Herien Puspitawati.
[3] A.P. Edi Atmaja, 2012,
Perempuan sebagai Kata Kerja, Harian Analisa. Melalui
Tidak ada komentar:
Posting Komentar