bersama mereka kuukir perjalanan

Selasa, 13 Maret 2012

Mataram Islam


Masa Keemasan  Sultan Agung dalam memerintahan Kerajaan Mataram (1613-1645)
Oleh: Eko Ashari
Sejarah panjang Mataram mencatat Sultan Agung (1613-1646) sebagai Raja yang paling  berpengaruh dimasa itu. Pada masa puncak kejayaan kerajaan Mataram dapat terlihat dalam bidang politik, terbukti dari luas wilayah dan besarnya kekuasaan raja menurut konsep kekuasaan Jawa atau yang disebut doktrin keagungbinataran, kemampuan mempertahankan kemerdekaan dan hubungan dengan berbagai kerajaan di luar Jawa, dan dalam kebudayaan dengan kemampuannya mengembangkan perpaduan antara kebudayaan Jawa dan kebudayaan dari luar seperti tercermin dalam pengembangan tarih Jawa, penulisan babad, pembangunan makam diatas bukit dalam bahasa Jawa Krama-ngoko[1].
Babad menceritakan bahwa Susuhunan Anyakrawati (Panembahan Krapyak) menggadang (mempersiapkan) calon penggantinya. Calon yang disiapkan adalah Raden Mas Wuryah atau Martapura. Tetapi bukan pangeran Martapura yang naik tahta melaikan Raden Mas Jetmika atau Raden Mas Rangsang. Karena Panembahan Krapyak sudah menjatuhkan Kaulnya kepada Raden Mas Wuryah atau Martapura, Martapura tetap diangkat menjadi raja, tetapi hanya sebentar, selanjutnya diserahkan lagi kepada Raden Jetmika. Dalam babad diceritakan bahwa Panembahan Krapyak mendapat wangsit bahwa Raden Jatmikalah yang nantinya menjadi raja  besar membawa kejayaan Mataram. Pada saat Panembahan meninggal, Raden Wuryah baru berusia 8 tahun dan Raden Jetmika berusia 20 tahun. Sehingga Raden Jetmika yang naik tahta karena dianggap sudah dewasa dan pantas untuk naik tahta[2].

Sultan Agung sebagai raja Jawa memiliki wawasan politik yang luas dan jauh kedepan, melibihi siapa pun juga yang hidup pada masanya. Sultan Agung berusaha mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Sejarah mencatat wilayah Mataram pada zaman Sultan Agung meliputi seluruh wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat sampai dengan Karawang, Jawa Timur sampai daerah Jember dan Madura. Sedangkan usahanya untuk mempersatukan Blambangan (Banyuwangi) dan Banten belum terpenuhi.
Perluasan kekuasaan yang dianggap sangat berhasil dimana Sultan Agung berhasil menahklukkan Surabaya. Bahkan Surabaya menjadi musuh yang sangat kuat untuk ditahklukkan oleh Mataram, yang menjadi musuh turun-temurun. Tahun 1614, Surabaya sempat menyerang Mataram yang dibantu oleh Kediri, Tuban, dan Pasuruan. Kemudian ditahun-tahun berikutnya pasukan gabungan itu berhasil dikalahkan oleh pasukan Mataram di Wirasaba (Mojokerto). Kemenangan pasukan Mataram atas gabungan dari pasukan Surabaya dan lainnya juga berdampak pada bubarnya persekutuan antara daerah-daerah tersebut. Kemudian menyusul jatuhnya daerah-daerah tersebut. Sesudah Wirasaba, segera jatuh Lasem, Pasuruan ditahun 1617 dan akhirnya Tuban juga ditahun 1620. Akibatnya kekuasan Mataram bertambah luas dan basis kekuatan Mataram juga bertambah kuat.
Kemudian pada tahun 1622 Sultan Agung memberanikan untuk menyeberangi laut Jawa, untuk menundukan Sukadana yang menjadi sekutu Surabaya. Tahun 1624 serangan Mataram ditujukan kepada Surabaya. Serangan yang langsung ditujukan dipertahanan Pamekasan dan Sumenep segera tidak berdaya, akhirnya daerah Madura Jatuh ketangan Mataram yang notabene adalah kawan dari Surabaya. Adipati Sampang diangkat oleh Sultan Agung menjadi Adipati Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat I. Madura dianggap sangat penting kedudukannya oleh Mataram karena Madura adalah kekuatan yang bisa diandalkan untuk menyerang Surabaya sebagai kekuatan pembantu untuk menahklukkan Surabaya.
Tibalah untuk menggempur Surabaya, yang sudah terpencil dan mengalami berbagai kesulitan karena blokade Mataram. Karena Surabaya mendapatkan bantuan dari Batavia, maka  Sultan Agung minta pula bantuan dari Batavia, tetapi Belanda menolak. Pada akhirnya Surabaya harus mengakui kekuasaan atas Mataram pada tahun 1625[3]. Dengan jatuhnya Surabaya  maka seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur kecuali (Blambangan) dapat bersatu dibawah kekuasaan Mataram. Persatuan ini kemudian diperkuat lagi oleh Sultan Agung dengan cara mengikat para Adipatinya menggunakan tali perkawinan dengan Puteri-puteri Mataram. Ia sendiri kawin dengan puteri Cirebon, sehingga daerah inipun mengakui kekuasaan Mataram.
Dalam usahanya dalam melaksanakan cita-citanya mempersatukan seluruh wilayah Jawa, maka Sultan Agung sebagai raja yang melanjutkan kejayaan dimasa Demak mengaku berhak atas daerah Demak. Ternyata Banten tidak bersedia mengakui Mataram sebagai penguasa wilayah Jawa khususnya daerah Banten. Maka Banten harus ditundukkan juga. Akan tetapi anatara Mataram dan Banten ada Batavia, tempat bercokolnya VOC yaitu Bandar dagang milik Belanda, sedangkan Sultan Agung sudah tahu bahwa Batavia tidak suka melihat Mataram terlalu berkuasa. Maka terlebih dahulu Batavia yang harus ditahklukan sebelum ke Banten.
Tahun 1628 Sultan Agung melancarkan serangan pertama ke Batavia. Usahanya merobohkan benteng VOC ini gagal, terutama disebabkan tentara Mataram kekurangan bahan makanan. Para Prajurit Mataram kekurangan dalam hal perbekalan makanan, sehingga banyak pasukan mataram yang mati dan kelaparan, mengakibatkan serangan yang dilancarkan oleh pasukan Mataram kurang membuat VOC tergoyahkan sehingga pasukan Mataram dipukul mundur dan terpaksa kembali ke Mataram. J.P Coen yang pada masa itu menjadi Gubernur Jenderal VOC kagum akan kekuatan Mataram, segera memperkuat lagi Batavia guna menghadapi kemungkinan serangan yang dilancarkan lagi oleh Mataram. Kemudian dengan menghapuskan blokade terhadap Banten yang sudah berlangsung selama 10 tahun. Dengan membuka kembali hubungan dengan Banten, berharap Banten bukan lagi sebagai musuh, melainkan ikut bergabung melawan Mataram karena secara tidak langsung usaha yang dilancarkan Mataram juga untuk menguasai wilayah Banten.
Karena serangan pertama gagal, Sultan Agung tidak lantas putus asa. Kesalahan-kesalahan serangan pertama terhadap Batavia diperbaiki. Maka sebagai persiapan untuk serangan yang kedua, diperintahkan untuk membangun gudang-gudang penyimpanan makan disetiap daerah-daerah jalan menuju Batavia dan membangun hubungan baik dengan daerah kekuasan Mataram disepanjang jalan itu. Pembangunan gudang tersebut didaerah Cirebon dan Karawang, sedangakan perahu-perahu penuh dengan beras menjelajah perairan sekitar Batavia. Barulah ia lancarkan serangannya yang kedua pada tahuin 1629[4].
Untuk yang kedua kalinya usaha yang dilakukan oleh Sultan Agung juga gagal. Serangan yang diperkirakan akan berhasil, tetap saja dapat dipatahkan oleh pihak VOC. Perahu-perahu yang mengangkut bahan makanan tidak dapat menghadapi perlawan kapal-kapal perang VOC, sedangkan persediaan makanan yang sekiranya sudah dipersiapkan di daerah-daerah strategis juga dibakar musuh. Hal ini disebabkan karena adanya pihak yang sengaja membocorkan gudang-gudang persediaan makanan prajurit Mataram. Alhasil prajurit-prajurit Mataram yang sedang bertempur di Batavia kelaparan bahkan terjangkit berbagai penyakit. Akhirnya Sultan Agung memutuskan mundur dari pertempuran dan kembali ke Mataram.
Sebenarnya kekuatan VOC tidak seberapa dibanding dengan prajurit Mataram, tetapi karena kelicikan dan taktik VOC yang sangat jitu, serangan yang dilancarkan oleh Mataram yaitu pada tahun  1628 dan 1629 dapat dipatahkan oleh pihak VOC. Namun Sultan Agung tidak lantas menyerah begitu saja. Sultan Agung kemudian fokus terhadap daerah yang dianggap penting, lebih memperkuat pertahan Mataram. Karena perlawanan Mataram dibawah pimpinan Sultan Agung tidak berhenti seketika itu. Daerah seperti Karawang yang mulanya semak dan hutan belukar lebat kemudian dibuka untuk lahan pertanian, dari situlah nantinya akan mempermudah hubungan keluar Mataram. Disamping itu Sultan Agung melakukan hubungan dengan orang-orang Portugis di Malaka dan orang Inggris di Banten. Pengiriman bahan makan ke Batavia Ia blokir, dan mengarahkan perdagangan ke Malaka.  Hal itu sebagai strategi untuk mengurung Batavia agar sulit untuk melakukan gerak-gerik dan nantinya dapat dikuasai oleh Mataram.
Sultan Agung dikenal adalah sosok raja Mataram yang sangat ahli dalam strategi pertempuran. Bahkan beliau tidak segan langsung memimpin pertempuran dan turun ke medan langsung untuk memimpin digaris terdepan. Sifatnya yang sangat bijaksana, berkharisma, dan memberikan suri tauladan menjadikan raja Mataram ini sangat disegani oleh kerajaan-kerajan lainnya. Sultan Agung juga tidak lepas dari sosok pahlawan bagi rakyatnya juga bagi negaranya. Walaupun pada masa itu berkecambuk perang dan penahklukan-penahklukan daerah yang nantinya akan menjadi daerah bawahan Mataram, Sultan Agung juga sempat mengadakan perlawanan kepada pihak VOC. Bahwa Sultan bertujuan mempersatukan wilayah Jawa dibawah kekuasaan Mataram. Sultan Aguing sebagai pewaris sah tahta Mataram tidak mau tanah leluhur sekaligus kelahirannya dicampuri urusan pemerintahannya.
VOC yang kedudukannya semakin kuat di Jawa dan kemudian berhasil menahklukkan Malaka. Kondisi ini mempersulit Mataram yang pada awalnya menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka, tetapi berhasil direbut oleh VOC. Tahun 1641 Malaka resmi jatuh dari tangan Portugis ke VOC. Sultan Agung kemudian mempersiapkan untuk mengusir pihak VOC dari tanah Jawa khususnya Nusantara pada waktu itu. Cita-cita yang semula ingin mempersatukan wilayah jawa dibawah satu kekuasaan Mataram kemudian beralih ke pengusiran penjajah disini pihak Belanda khususnya VOC dari nusantara. Tapi kehendak berkata lain, pada tahun 1645[5] pada usia 55 tahun Sultan Agung mangkat dan pekerjaannya belum selesai. Padahal persiapan yang sudah disusun dan direncanakan cukup panjang, tetapi Sultan Agung wafat terlebih dahulu. Pengganti Sultan Agung tidak bisa meneruskan perjuangan Sultan Agung. Penerus tersebut adalah puteranya sendiri yaitu Amngkurat I. Beliau tidak mempunyai kecakapan seperti ayahnya. Bahkan pada masa Amangkurat I Mataram berada dibawah bayang-bayang VOC. Kondisi perpolitikan Matarm sudah dikendalikan oleh VOC, ini menjadi masa-masa sulit kerajaan Matarm, karena figur pemimpin seperti Sultan Agung tidak biasa ditemukan lagi. Sosok Sultan Agung yang sangat kharismatik tidak ada duanya. Mataarm sendiri mencapai kejayaan pada masa Sultan Agung yang dianggap raja paling sukses di Mataram. Rakyat beserta keluarga besar Kerajaan Mataram merasa sangat kehilangan raja yang sangatlah berjasa bagi kemajuan kerajaan Mataram dan sanagat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Jawa.
Jasa Sultan agung tidak berhenti disitu saja, dalam hal politik memang beliau diacungi jempol sangat hebat dan terbukti dari wilayah Mataram yang hampir meliputi se-Jawa. Tetapi disamping itu beliau juga mempunyai wawasan budaya yang sagat kuat.Wawasan kebudayaan yang dimiliki Sultan Agung tidak terlepas dari nilai budaya Jawa, yang selalu mau menerima masuknya unsur dari luar untuk memperkaya budaya yang sudah dimiliki. Pada masa Sultan Agung nilai-nilai budaya Jawa yang dipadukan dengan Islam kemudian munculnya penanggalan Jawa. .Salah satu hasil karyanya yaitu saat Sultan Agung mengembangkan kalender Jawa yang dipadupadankan dengan tarihk Hijriyah dan Saka. Beliau memperkenalkan tarihk Jawa pada tahun 1633. Sultan Agung juga melakukan perayaan sekaten saat masuk bulan Mulud saat memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW yaitu hari kelahiran nabi Muhammad SAW.

Budaya-budaya yang kental dengan nilai-nilai Jawa ini menjadikan Sultan Agung mempunyai perhatian juga terhadap budaya yang telah membesarkan dirinya. Jadi beliau tidak rela ketika pihak Belanda ingin merusak dan menguasai itu. Karena didalamnya ada unsur kesakralan dalam setiap prosesi-prosesi ritual yang dilakukan oleh Mataram pada khususnya.Peranan Sultan Agung tidak lantas berhenti disitu saja, Sultan Agung juga berperan penting dalam perkembangan sastra dan bahasa Jawa.Salah satunya serat gending yang langsung dikarang oleh Sultan agung dan beliau sebagai pecipta unggah-ungguhe basa yang kemudian disebut sebagai ngoko-krama. Inilah yang menjadikan tatanan bahasa pada waktu itu menjadi pembeda dalam status sosial. Unggah-ungguh basa digunakan untuk melakukan percakapan dengan orang sebaya, lebih muda dan juga lebih tua. Perkembangannya sangatlah pesat dan ini juga digunakan dalam lingkungan kraton.


Daftar Pustaka
G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan JAwa penerapan oleh raja-raja Mataram, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Purwadi, The history of Javanese King “Sejarah Raja-raja jawa”, Yogyakarta: Ragam Media, 2010.
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3, Yogyakarta: Kanisius. 1973.


[1]Diambil dari tulisan Dr. Purwadi, M.Hum dalam tulisannya yang berjudul “STRATEGI KEBUDAYAAN PADA MASAPEMERINTAHAN SULTAN AGUNG”.

[2] G. Moedjanto, konsep kekuasaan Jawa penerapan oleh raja-raja Mataram, (Yogyakarta: Kanisius, 1987) hal 158.
[3]Soekmono, Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 3, (Yogyakarta: Kanisius, 1973) hal. 61
[4] Ibid,.
[5] Purwadi, The history of Javanese King “Sejarah Raja-raja jawa”, (Yogyakarta: Ragam Media, 2010), Hal. 317.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages