bersama mereka kuukir perjalanan

Senin, 26 Maret 2012

Agus Salim


Nasionalisme adalah Tujuan Mulia
Oleh  Indri Prasetya wati

Semangat nasionalisme, bukan terpatri karena wujud kepercayaan kita, bukan hanya terpojok oleh  persamaan nasib dan alur kehidupan seorang manusia, bahkan tak cukup dengan landasan tanah air. Nasionalisme adalah tujuan mulia. Tujuan kita yang sama. Meningkatkan derajat Indonesia.


Berbicara mengenai nasinalisme berarti sedikit banyak berbicara tentang pengapdian.. Nasionalisme tidak dapat jika hanya di hubungkan dengan pahlawan, mengakui kewarganegaraannya atau sekedar mendukung timnas Indonesia. Di era modernisasi dan globalisasi saat ini, jiwa nasionalisme para pemuda bangsa sedikit demi sedikit mulai memudar. Banyak dari pemuda-pemudi Indonesia yang lebih mencintai budaya bangsa lain daripada bangsanya sendiri. Maka dari itu, kita tidak salah jika mengilhami karakter pahlawan untuk belajar dan mencerna arti nasionalisme itu sendiri. Sehingga dapat kita aktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tokoh Indonesia yang satu ini, adalah salah satu dari sekian banyak orang-orang yang berhasil mengukir sejarah Indonesia. Beliau adalah Agus Salim, seorang anak manusia yang dilahirkan di Kota Gadang, Bukittinggi, tahun 1884. Anak keempat dari Sultan Moehammad Salim, seorang jaksa di sebuah pengadilan negeri. Karena kedudukan ayahnya Agus Salim bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan lancar, selain karena dia anak yang cerdas. Dalam usia muda, dia telah menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing; Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman.
Dalam teori komunikasi, pola berpikir seseorang dipengaruhi oleh latar belakang hidup di lingkungannya. Seorang tokoh yang berperan dalam gerakan moderen Islam di Indonesia, Agus Salim, memiliki pola berpikir yang dipengaruhi oleh lingkungannya dalam hal sosial-intelektual. Dia adalah anak dari pejabat pemerintah yang juga berasal dari kalangan bangsawan dan agama. Jadi, sejak kecil ia hidup di lingkungan yang penuh dengan nuansa-nuansa keagamaan. Setelah menyelesaikan studi sekolah pertengahannya di Jakarta, dia bekerja untuk konsulat Belanda di Jeddah (1906-1909).
Karir politik Agus Salim berawal di SI, bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada 1915. Ketika kedua tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan mereka terhadap pemerintah Belanda, Agus Salim menggantikan mereka selama empat tahun (1921-1924) di lembaga itu. Tapi, sebagaimana pendahulunya, dia merasa perjuangan “dari dalam” tak membawa manfaat. Dia keluar dari Volksraad dan berkonsentrasi di SI.
Karier politiknya sebenarnya tidak begitu mulus. Dia pernah dicurigai rekan-rekannya sebagai mata-mata karena pernah bekerja pada pemerintah. Apalagi, dia tak pernah ditangkap dan dipenjara seperti Tjokroaminoto. Tapi, beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang menyinggung pemerintah mematahkan tuduhan-tuduhan itu. Bahkan dia berhasil menggantikan posisi Tjokroaminoto sebagai ketua setelah pendiri SI itu meninggal dunia pada 1934. Selain menjadi tokoh SI, Agus Salim juga merupakan salah satu pendiri Jong Islamieten Bond. Di sini dia membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin keagamaan yang kaku.
Agus Salim memang memiliki sumbangan yang tidak kecil dalam pembangunan bangsa baru bernama Indonesia. Bukan hanya sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), ia bahkan termasuk dalam tim kecil perumus Pembukaan UUD RI. Mungkin karena keahliannya dalam tata bahasa Melayu, ia bersama Djajadiningrat dan Soepomo, menjadi penghalus bahasa dalam penyusunan batang tubuh UUD 1945. Kiprah perjuangan “the grand old man” –julukan Soekarno terhadap Agus Salim– tidak hanya sebatas pendirian Indonesia. Pada beberapa kabinet, Agus Salim selalu menduduki peran sebagai menteri luar negeri. Kepiawaiannya berdiplomasi membuat dia dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta. Sesudah pengakuan kedaulatan Agus Salim ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri.
Agus Salim adalah tokoh yang sangat disiplin dalam mendidik dirinya dan keluarga. Mendidik mereka dalam kesederhanaan. Beliau adalah manusia komplet, ia adalah penerjemah, wartawan, diplomat, dan ulama. Bahkan juga sastrawan. Julukan The Grand Old Man, adalah  sebagai bentuk pengakuan atas prestasinya di bidang diplomasi.
Sahabat dan keluarga mengenal Agus Salim sebagai manusia merdeka. Merdeka dalam berhadapan dengan penjajah, merdeka dalam urusan keluarga, masyarakat dan bangsanya. Merdeka dalam bersuara. Dan merdeka dalam bidang pendidikan. Sebagai pribadi yang dikenal berjiwa bebas. Dia tak pernah mau dikekang oleh batasan-batasan, bahkan dia berani mendobrak tradisi Minang yang kuat. Tegas sebagai politisi, tapi sederhana dalam sikap dan keseharian.
Meski pemikiran Agus Salim bernafaskan islam, namun beliau ingin menempatkan nasionalisme pada porsinya. Artinya memang nasionalisme diperuntukkan meningkatkan rasa cinta tanah air, namun juga perlu diorientasikan untuk kepentingan-kepentingan perjuangan bangsa Indonesia dalam menuju kemerdekaan dan pembentukan Negara yang adil dan makmur. Perjuangan seperti itu tentunya salah satu bentuk pengabdian dan beribadah kepada Tuhan yang Maha Esa. Dengan begitu antara nasionalisme dan keagaamaan dapat disintesiskan menjadi nasionalisme yang sejati dengan nilai-nilai Ketuhanan.
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa Agus Salim adalah seorang yang anti-nasionalisme. Perjuangannya dalam mempersiapkan kemerdekaan bangsa kita adalah bukti bahwa dia adalah seorang yang berjiwa nasionalisme.
Perjuangan Agus salim dalam meraih kemakmuran bagi rakyat Indonesia patut kita apresiasi bersama sebagai rasa syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, kenikmatan hidup saat ini yang kita rasakan di Indonesia tak lain dan tak bukan adalah hasil jerih payah dari para pejuang kemerdekan dan alangkah lebih baik apabila perjuangan mereka di masa lalu dapat kita hayati untuk merevitalisasi semangat dalam diri menggali secara konsisten khazanah-khazanah keislaman, kemoderenan, dan keindonesiaan.
Kita baru betul-betul merdeka, kalau sudah berhasil menciptakan masyarakat Indonesia yang merdeka. Merdeka dari kemiskinan, kebodohan, dan kebobrokan hati nurani mereka.

2 komentar:

  1. komen saya fontnya times new roman saja, supaya yang membaca tidak mumet

    BalasHapus
  2. siap... komentar saya tampung saudara.

    BalasHapus

Pages